about me, you, and all
Berteman dan Bersahabat
Rabu, 07 Desember 2011
Senin, 09 Mei 2011
Senin, 07 Maret 2011
Potensi Bencana di Gunung Tambora & Krakatau?
Potensi Bencana di Gunung Tambora & Krakatau?
Pada 1815 Tambora meletus dahsyat, dampaknya sampai ke Eropa. Mungkinkah meletus lagi?
Selasa, 8 Maret 2011, 08:50 WIB
Elin Yunita Kristanti Gunung Tambora (Google earth)
"Pantauan terhadap gunung dilakukan secara rutin, hanya saat ini lebih intens," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono saat dihubungi VIVAnews.com di Jakarta, Selasa 8 Maret 2011.
Ada alasan khusus mengapa ketiga gunung itu terus dipantau. "Tambora pernah meletus hebat pada 1815 dan dirasakan sampai Eropa. Tahun itu, tak ada musim panas, sehingga terjadi kelaparan hebat di Eropa. Kami belajar dari situ," tambah Surono.
Dia menjelaskan, jika terjadi letusan dahsyat seperti itu, baik di Tambora maupun gunung-gunung lain, sudah dapat diantisipasi. Apakah mungkin Tambora meletus lagi? "Segala sesuatu mungkin terjadi, apalagi pernah terjadi yang seperti itu," tuturnya.
Surono menambahkan, peristiwa letusan Gunung Merapi pada 2010 sama seperti yang terjadi pada 1822. "Potensi pengulangan ada, yang tak bisa ditentukan, kapan itu terjadi," kata Surono.
Selain Tambora, Krakatau juga pernah meletus hebat. Pada Senin, 27 Agustus 1883 sekitar pukul 10.20, Gunung Krakatau meletus. Kekuatannya 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.
Menurut Surono, pemantauan terhadap Anak Krakatau --yang muncul paska letusan Krakatau-- juga memiliki arti penting terkait kepentingan dua provinsi. "Apalagi mau dibangun Jembatan Selat Sunda," ujar dia.
Sementara itu, pemantauan Gunung Pusuh Buhit di Toba juga dilakukan secara periodik. Pusuk Buhit yang pernah mengalami letusan dahsyat 70.000 tahun lalu tidak meninggalkan catatan letusan sejak 1400. Aktivitas Pusuk Buhit saat ini lebih banyak mengeluarkan air panas.
Bagaimana hasil pantauan sejauh ini? "Sampai sekarang ini, kalau Anak Krakatau memang status waspada, sedang meletus. Yang lain dalam kondisi normal," ungkap Surono.
Tak hanya dipantau ahli gunung Indonesia, salah satu gunung, Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.
Ada dua alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, ini juga dilatarbelakangi faktor historis. Sejarah letusannya yang dahsyat. (art)
• by: VIVAnews
Gunung berapi tipe A, antara lain, Gunung Sinabung, Merapi di Sumatera Barat, Tandikat, Krakatau, Gede, Tangkuban Perahu, Galunggung, Salak, Ciremai.
Indonesia Miliki 129 Gunung Tipe Aktif
"Tidak perlu was-was. Gunung Gede memang gunung berapi aktif, tapi masih normal."
Selasa, 14 Desember 2010, 17:38 WIB
Elin Yunita Kristanti, Mohammad Adam Gunung Slamet (ANTARA/Idhad Zakaria)
VIVAnews -- Kepala Bidang Pengamatan Gempa Bumi dan Gerakan Tanah Pusat Vulkanlogi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Gede Suantika mengatakan saat ini ada 129 gunung tipe aktif di Indonesia.
Namun, bukan berarti semua diamati secara kontinyu. "Kami prioritaskan yang tipe A," kata Gede Suantika di Jakarta, Selasa 14 Desember 2010.
Gunung berapi tipe A, antara lain, Gunung Sinabung, Merapi di Sumatera Barat, Tandikat, Krakatau, Gede, Tangkuban Perahu, Galunggung, Salak, Ciremai.
Juga ada Slamet, Sindoro, Sumbing, Dieng, Merapi, Kelud. Gede Suantika mengakui, ada kecenderungan peningkatan aktivitas. "Tapi yang kami rilis beberapa yang naik level 2 (Waspada).
Apakah Gunung Gede yang bertipe A harus membuat warga Jakarta was-was? Gede Suantika menjawab: "Tidak perlu was-was. Gunung Gede memang gunung berapi aktif, tapi masih normal, belum meningkat ke Level 2."
Dia menambahkan, jika warga masih ragu, disarankan bertanya pada pusat pengawasan yang ada di sekitar gunung berapi.
Sejumlah letusan gunung pernah berimbas buruk pada Jakarta. Pada 4-5 Januari 1699, Gunung Salak meletus. Dari puncaknya setinggi dua ribu meter, gunung itu menyemburkan abu dan batu. Ribuan kubik lumpur muncrat. Puluhan ribu pohon tumbang, menyumbat aliran Sungai Ciliwung, membekap kali dan tanggul di Batavia, kota yang dibangun meniru Venesia. Banjir lumpur tak terelakkan. Kota mendadak menjadi rawa.
Kemudian, pada 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus, efeknya juga sampai Jakarta.
• VIVAnews
Sabtu, 22 Januari 2011
CATATAN Nasional: Ketika Bobotoh Mempersoalkan Kualitas Siaran Langsung Sepakbola Nasional Di Indonesia
Sejatinya siaran langsung bisa membantu meningkatkan kualitas sepakbola nasional.
Oleh Gunawan Widyantara
21 Jan 2011 06:49:00

Cristian "El Loco" Gonzales - Persib Bandung (GOAL.com/Muhammad AQ)
Di tengah teknologi yang serbacanggih, sulit bagi wasit mengelak dari kesalahan yang diperbuatnya saat memimpin pertandingan. Lihat Piala Dunia lalu ketika wasit Jorge Larrionda asal Uruguay tidak mengesahkan tendangan Frank Lampard menjadi gol meski sudah melewati garis gawang Manuel Neuer.
Atau lihat pula pertandingan Persisam Samarinda menjamu Persib Bandung, Kamis (20/1) sore kemarin.
Tak bisa dimungkiri, nama besar Persib menjadi gula siaran langsung Superliga Indonesia di televisi. Sejarah panjang Persib dengan status sejumlah pemain timnas Indonesia, tentu menyedot perhatian masyarakat banyak, baik yang berada di Bandung maupun tidak. Jika Persib bermain di kandang sendiri, seisi kota Bandung mendadak kosong karena perhatian tertuju ke stadion.
Begitu pula halnya ketika Persib bermain di luar kandang. Bobotoh dengan setia menggelar acara nonton bareng di mana saja, mulai dari pasar tradisional, pangkalan ojek, lapangan terbuka, kafe, bioskop, gedung olahraga, bahkan hingga hanggar pesawat.
Jika ada tim yang menolak disiarkan langsung karena takut pendapatan dari penjualan tiket berkurang, manajemen Persib malah menyambut gembira. Alasannya, selain bisa mengurangi kepadatan di stadion saat Persib bermain kandang, siaran langsung setidaknya dinilai dapat mengurangi kesalahan yang dilakukan oleh perangkat pertandingan saat berlaga jauh dari Bandung.
Namun harapan tinggal harapan, bahkan dengan siaran langsung pun wasit masih melakukan kesalahan fatal. Beragam keputusan keliru seperti off-side, tekel keras, penalti, handsball, tabrakan pemain, dan lain-lain, tetap saja terjadi.
Dalam sepekan ini kita bisa mengambil beberapa contoh. Pertama ketika terjadinya gol pertama Arema ke gawang Persiba, Rabu (20/1). Dalam sepekan ini kita ambil beberapa contoh. Pertama ketika terjadinya gol pertama Arema ke gawang Persiba, Rabu (20/1). Dari layar kaca selintas terlihat Leonard Tupamahu berdiri dalam posisi off-side saat menyontek bola. Namun replay hanya sekilas hingga penonton dibuat penasaran.
Lainnya hadir dari laga Persisam melawan Persib. Dalam sebuah adegan di babak pertama, Hilton Moreira melesat ke depan keluar dari jebakan off-side, tetapi wasit mengangkat bendera, ironisnya televisi mengambil replay dari sudut belakang gawang! Dari mana pemirsa tahu itu off-side atau tidak? Belum lagi banyak episode rawan kontroversi tanpa replay.
Contoh selanjutnya mungkin akan menjadi misteri dan seperti biasanya tenggelam dimakan waktu. Sebagian penonton pasti bertanya-tanya, mengapa Gonzales dikartumerah. Tayangan replay yang diharapkan bisa menjadi jawaban, tak kunjung datang.
Betul, wasit cuma manusia yang tak lepas dari kesalahan. Aksi pemain di lapangan kadang berjalan sangat cepat sehingga sulit ditangkap mata telanjang. Otoritas sepakbola internasional mencoba meminimalkan kesalahan manusiawi tersebut dengan menugaskan petugas tambahan seperti ofisial keempat, teknologi perangkat earpiece, hingga ofisial kelima. Setidaknya di mancanegara telah muncul keinginan memperbaiki taraf perwasitan, Indonesia terlelap.
Bagi pemirsa, terkadang pula sulit mengikuti apa yang baru saja terjadi. Rasa penasaran akan memuncak, apalagi jika baru saja terjadi insiden yang berbau kontroversial seperti off-side, diving hingga tekel di dekat garis kotak terlarang.
Untuk itulah pemirsa bersedia meluangkan waktu memelototi televisi - bahkan di Eropa pemirsa membayar mahal untuk bisa menonton pertandingan di layar kaca - karena televisi bisa menyiarkan peristiwa tersebut berulang-ulang hingga pertanyaan dianggap terjawab dan terpuaskan.
Di Indonesia, belum ada keinginan memperbaiki kualitas perwasitan, demikian pula tayangan televisi. Kita terkadang terlalu mempermasalahkan sudut pengambilan gambar yang terkesan statis, padahal di balik itu banyak yang bisa digali dan menjadikan sepakbola lebih menarik lagi.
Di luar harapan perbaikan kualitas perwasitan nasional, siaran langsung sejatinya bisa membantu meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia dengan memberikan nilai edukatif bagi fans. Sayangnya, hal tersebut belum dimaksimalkan.
Pemirsa Indonesia bisa banyak belajar tentang peraturan off-side, handsball aktif dan tidak aktif, hingga jarak pagar hidup saat terjadi tendangan bebas menurut regulasi, dan lain-lain. Bayangkan, jika potensi siaran langsung televisi dimaksimalkan, apa yang tersaji di lapangan menjadi bukti, koreksi, hingga edukasi bagi publik.
Saat ini, mungkin bobotoh yang paling ramai membahas pertandingan melawan Persisam, tapi saya percaya semua pecinta sepakbola nasional menginginkan peningkatan kualitas siaran langsung demi terciptanya kemajuan.
by: Goal.com
Rabu, 17 November 2010
Langganan:
Komentar (Atom)
